“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.
Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu, dan sembelihlah hewan ( qurban).
Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus” (QS.
Al-Kausar : 1-3)
Pemberian nikmat oleh Allah kepada manusia tak terhingga. Anak
isteri dan harta kekayaan adalah sebagian nikmat dari Allah. Kesehatan
dan kesempatan juga nikmat yang sangat penting. Manusia juga diberi
nikmat pangkat, kedudukan, jabatan , dan kekuasaan. Segala yang dimiliki
manusia adalah nikmat dari Allah, baik berupa materi maupun non materi.
Namun bersanmaan itu pula , semua nikmat tersebut sekaligus menjadi
cobaan atau ujian , fitnah atau bala’ bagi manusia dalam kehidupannya.
Allah berfirman : “Dan ketahuilah bahwasanya harta kekayaanmu dan
anak-nakmu adalah fitnah (cobaan). Dan sesungguhnya Allah mempunyai
pahala yang besar”(QS. Al-Anfal : 28).
Meskipun Allah
memberikan nikmat-Nya yang tak terhingga kepada manusia, tetapi dalam
kenyataan Allah melebihkan apa yang diberikan kepada seseorang daripada
yang lain. Sehingga ada yang kaya raya, cukup kaya, miskin, bahkan ada
yang menjadi seorang papa , gelandangan, berteduh di kolong langit.
Demikian juga ada yang menjadi penguasa ada yang rakyat jelata. Ada
pimpinan/ kepala dan ada bawahan / anak buah. Ini semua juga dalam
rangka cobaan bagi siapa yang benar-benar mukmin dan siapa yang hanya
mukmin di bibir saja.
Salah satu bukti bahwa seorang mukmin
telah lulus cobaan dalam nikmat harta kekayaan adalah ia dengan ikhlas
mengunakannya untuk ibadah haji. Sehingga bagi orang demikian akan
memperoleh haji yang mabrur. Sedang haji mabrur pahalanya hanyalah
surga, sebagaimana sabda Nabi SAW : “Orang yang dapat mencapai haji yang
mabrur tiada pahala yang pantas baginya selain surga”. (Al-Hadis).
Betapa gembira dan bahagianya orang kaya yang dapat mencapai haji
mabrur demikian. Belum lagi jika ia sempat salat berjamaah di Masjidil
Haram dan Masjid Nabawi, maka tiada terkira lagi pahalanya. Namun ini
konteksnya adalah orang yang kaya. Sedang orang yang tidak mampu /
miskin tidak perlu berkecil hati. Bagi kita yang tidak mampu , maka
konteksnya terkandung dalam hadis Nabi SAW berikut :
"Hajinya orang yang tidak mampu (ke tanah suci Makkah) adalah berpuasa pada hari Arafah (9 Zul Hijjah).”
Itulah, maka sangat disayangkan bila di antara kita ada yang
menyia-siakan kesempatan dari Allah, yakni tidak mau berpuasa pada
tanggal 9 Zul Hijjah, yang disebut puasa Arafah itu.
Cobaan
tentang harta kekayaan juga berkaitan dengan pelaksanaan ibadah udhiyah,
yakni menyembelih hewan yang terkenal dengan hewan qurban di hari raya.
Karena pada hari ini Allah mensyariatkan untuk ber-udhiyah (menyembelih
hewan), maka hari raya ini disebut dengan hari raya Adha , wa biha
sumiya yaumal-adha. Demikian juga penjelasan Rasulullah SAW : “Hari raya
fitrah (“Idul Fitri) adalah pada hari manusia berbuka menyudahi puasa
Ramadan. Sedangkan hari raya Adha (“Idul Adha) adalah pada hari manusia
ber-udhiyah (menyembelih hewan)” (HR. Tirmizi).
Maka salah satu
bukti lagi bahwa seseorang lulus dari cobaan harta adalah ia dengan
ikhlas mau mengunakannya untuk ber-udhiyah (menyembelih hewan), baik itu
berupa sapi, kerbau, maupun kambing. Ini tergantung pada kemampuan
masing-masing. Seekor kambing boleh digunakan untuk satu orang beserta
keluarga seisi rumahnya. Sedang sapi / kerbau boleh untuk tujuh orang
beserta keluarga seisi rumah mereka masing-masing. Daging sembelihan
(qurban) ini termasuk syiar agama, yakni untuk dimakan, menjamu tamu,
diberikan kepada yang meminta (orang miskin) atau yang tidak meminta
(orang mampu). Daging ini juga boleh disimpan untuk dimakan hingga hari
tasyrik (11,12,13 Zul Hijjah). Allah berfirman : “Makanlah sebagiannya
dan untuk memberi makan orang yang tidak meminta dan orang yang
meminta”. (QS. Al-Hajj : 36).
Sementara Nabi bersabda :
“Makanlah, untuk memberi makan, dan simpanlah !” (HR. Muttafaq alaih)
Sementara itu, cobaan besar terhadap sesuatu yang dimiliki manusia
pernah dialami Abul Anbiya’ Khalilurrahman Ibrahim AS. Beliau telah
lulus ujian atau cobaan dari Allah. Hal ini didokumentasikan dalam
Al-Qur’an :
Dan ketika Ibrahim diberi cabaan (bala’) oleh
Tuhannya dengan beberapa kalimat (berbagai cobaan) , lalu Ibrahim lulus
dalam cobaan itu. Allah berfirman, ‘Sesungguhnya Aku menjadikan kamu hai
Ibrahim Imam semua manusia ..... (QS. Al-Baqarah : 124)
Kelulusan Ibrahim tidak hanya dalam melaksanakan perintah Allah, tetapi
juga dalam kebijaksanaannya menyampaikan perintah itu kepada anaknya
yang sangat dicintainya. Beliau tidak langsung mengambilnya tiba-tiba
dan tidak pula mencari kelengahan, atau dengan taktik menculik, teror,
dan intimidasi. Meskipun Ibrahim memiliki massa yang banyak, tetapi
beliau tidak menggunakan massa agar anaknya bertekuk lutut di
hadapannya. Perintah Allah disampaikannya dengan transparan penuh
argumentasi Ilahiah.
Sedangkan Ismail, anak yang patuh dan
mengerti kedudukan orang tuanya dan posisinya sebagai anak, ia tidak
membangkang dan tidak bimbang. Ismail memberikan jawaban yang
memancarkan keimanan, tawaddu’, dan tawakkal kepada Allah, bukan untuk
menonjolkan kepahlawanan atau kegagahan, mencari popularitas. Ia tidak
melakukan unjuk rasa yang konfrontatif tanpa mengindahkan akhlakul
karimah atau dengan kekerasan untuk memprotes kehendak bapaknya.
Sungguh dua tokoh bapak dan anak ini merupakan uswah hasanah bagi umat
manusia. Bahkan syariat Nabi Muhammad SAW merupakan syariat yang dulunya
telah diwahyukan Allah kepada Ibrahim (Asy-Syura : 13). Maka kita
menyembelih hewan qurban (udhiyah) di hari ‘Idul Adha ini termasuk
meneladani sunnah Ibrahim, sebagaimana sabda Nabi SAW : “Sunnatu abikum
Ibrahim.” (Sunnah bapakmu Ibrahim) (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
‘Idul Adha memiliki makna yang penting dalam kehidupan. Makna ini perlu
kita renungkan dalam-dalam dan selalu kita kaji ulang agar kita lulus
dari berbagai cobaan Allah. Makna ‘Idul Adha tersebut :
1.
Menyadari kembali bahwa makhluk yang namanya manusia ini adalah kecil
belaka, betapapun berbagai kebesaran disandangnya. Inilah makna kita
mengumandangkan takbir : Allahu akbar !
2. Menyadari kembali
bahwa tiada yang boleh di-Tuhankan selain Allah. Menuhankan selain Allah
bukanlah semata-mata menyembah berhala seperti di zaman jahiliah. Di
zaman globalisasi ini orang dapat menuhankan tokoh (individu),
lebih-lebih lagi si Tokoh itu sempat menjadi pucuk pimpinan partainya,
menjadi presiden/wakil presiden, atau ketua lembaga perwakilan rakyat.
Orang sekarang juga cenderung menuhankan politik dan ekonomi. Politik
adalah segala-galanya dan ekonomi adalah tujuan hidupnya yang sejati.
Bahkan HAM (Hak Asasi Manusia) menjadi acuan utama segala gerak
kehidupan , sementara HAT (Hak Asasi Tuhan) diabaikan. Inilah makna kita
kumandangkan kalimah tauhid : La ilaha illallah !
3. Menyadari
kembali bahwa pada hakikatnya yang memiliki puja dan puji itu hanyalah
Allah. Maka alangkah celakanya orang yang gila puja dan puji, sehingga
kepalanya cepat membesar, dadanya melebar, dan hidungnya bengah, bila
dipuji orang lain. Namun segera naik pitam, wajah merah, dan jantung
berdetak melambung, bila ada orang yang mencela ,mengkritik, dan
mengoreksinya. Inilah makna kita kumandangkan tahmid : Wa lillahil-hamd !
4. Menyadari kembali bahwa manusia ini ibarat sedang melancong atau
bepergian, yang suatu saat rindu untuk pulang ke tempat tinggal asal,
yakni tempat yang mula-mula dibangun rumah ibadah bagi manusia, Ka’bah,
Baitullah. Inilah salah satu makna bagi yang istita’ah (berkemampuan)
tidak menunda-nunda lagi berhaji ke Baitullah. Di sini pula manusia
disadarkan kembali bahwa pada hakikatnya manusia itu satu keluarga dalam
ikatan satu keimanan. Siaopa pun dia dari bangsa apapun adalah saudara
bila ia mukmin atau muslim. Tetapi, bila seseorang itu kafir adalah
bukan saudara kita meskipun dia lahir dari rahim ibu yang sama. Maka
orang yang pulang dari haji hendaknya menjadi uswah hasanah bagi warga
sekitarnya, tidak membesar-besarkan perbedaan yang dimiliki sesama
muslim, terutama dalam hal yang disebut furu’iyah.
5. Menyadari
kembali bahwa segala nikmat yang diberikan Allah pada hakikatnaya
adalah sebagai cobaan atau ujian. Apabila nikmat itu diminta kembali
oleh yang memberi , maka manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Hari ini
jadi konglomerat, esok bisa jadi melarat dengan hutang bertumpuk jadi
karat. Sekarang berkuasa, lusa bisa jadi hina tersia-sia oleh massa.
Kemaren jadi kepala kantor dengan mobil Timor, entah kapan, mungkin bisa
jadi bahan humor karena naik sepeda bocor. Sedang nikmat yang berupa
harta, hendaknya kita ikhlas untuk berinfaq di jalan Allah, seperti
untuk ber-udhiyah (berqurban).
6. Percayalah, dalam hal harta
apabila kita ikhlas di jalan Allah, niscaya Allah akan membalasnya
dengan berlipat ganda. Tetapi, jika kita justru kikir, pelit, tamak,
bahkan rakus, tunggulah kekurangan, kemiskinan, dan kegelisahan hati
selalu menghimpitnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar